TAFSIR KONTEMPORER
MACAM-MACAM CORAK TAFSIR
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya,MA
Dr. Elo Albugis
Kelompok 5 :
Istiya Rahayu D.P
Ratih Nurafriani
Abdul Rosyadi
Fakhrurrazi
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Al
Qur’an yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam
Allah, menyebut dirinya sebagai “ petunjuk bagi manusia” dan memberikan
“penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun
yang ada dalam realitas yang luput dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa
kandungan al Qur’an bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada
tataran kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks
waktu. Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai
dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan
tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al
Qur’an.
Perkembangan penafsiran al Qur’an di
Indonesia agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang
merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir
al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang
budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak
mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa al Qur’an sehingga proses
penafsiran juga lumayan cepat dan pesat. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia
yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena itu proses pemahaman al Qur’an
terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia
baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan
rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami jika penafsiran al Qur’an di
Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku
di tempat asalnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian corak tafsir
Dalam kamus bahasa Indonesia kata corak mempunyai beberapa
makna. Di antaranya Corak berarti bunga atau gambar (ada yang berwarna -warna )
pada kain( tenunan, anyaman dsb), Juga bermakna berjenis jenis warna pada warna
dasar, juga berarti sifat( faham, macam, bentuk) tertentu. Kata corak dalam literatur
sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa
Arab yang berarti warna. Istilah ini pula di gunakan Azzahaby dalam kitabnya
At-Tafsir Wa-al-Mufassirun. Berikut potongan ulasan beliau (وعن
ألوان التفسير فى هذا العصر الحديث….)
(Tentang corak-corak penafsiran di abad modern.
Adapun tafsir menurut Istilah
adalah:
التفسير علم يعرف به فهم كتاب الله
المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه.
Tafsir adalah Ilmu untuk memahami
kitabullah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan
makna-maknanya, menyimpulkan hukum –hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Jadi, corak tafsir adalah nuansa
atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu
bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan
maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide
tertentu mendominasi sebuah karya tafsir .
B. Macam-macam Corak Tafsir
1. CORAK LUGHAWI
Ø Pengertian Lughawi
Tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba
menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan.
Seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus
mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala
seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Ahmad
Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi,
balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Di
sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.
Ø Jenis-jenis Lughawi
Sebelum menjelaskan jenis-jenis dan
metode tafsir lughawi, perlu diketahui bahwa tafsir lughawi dengan berbagai
macam penyajian dan pembahasannya tidak akan keluar dari dua kelompok besar
yaitu:
§ Tafsir lughawi yang murni atau lebih banyak membahas
hal-hal yang terkait dengan aspek bahasa saja, seperti tafsir Ma’an
al-Qur’an karya al-Farra’, Tafsir al-Jalalain karya al-Suyuthi
dan al-Mahally. Dll.
§ Tafsir lughawi yang pembahasannya campur-baur dengan pembahasan
lain seperti hukum, theology dan sejenisnya, seperti Tafsir
al-Thabary li Ibn Jarir al-Thabary, Mafatih al-Ghaib li al-Fakhruddin
al-Razy, dan sebagian besar tafsir dari awal hingga sekarang, termasuk Tafsir
al-Mishbah yang disusun oleh Quraish Shihab.
Tafsir lughawi dalam perkembangannya, juga
memiliki beberapa macam bentuk dan jenis. Ada yang khusus membahas aspek nahwu,
munasabah dan balaghah saja dan ada pula yang membahas linguistik dengan mengkelaborasikan bersama corak-corak yang lain.
Untuk
lebih jelasnya tentang jenis dan macam-macam tafsir lughawi, akan dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Tafsir
nahwu atau i’rab
al-Qur’an yaitu tafsir yang hanya pokus membahas i’rab (kedudukan)
setiap lafal al-Qur’an, seperti kitab al-Tibyan fi I’rab al-Qur’an karya
Abdullah bin Husain al-‘Akbary (w. 616 H)
2.
Tafsir
Sharaf atau morpologi (semiotik dan semantik) yaitu tafsir lughawi yang pokus
membahas aspek makna kata, isytiqaq dan korelasi antarkata seperti Tafsir
al-Qur’an Karim karya Quraish Shihab, Konsep Kufr dalam al-Qur’an karya
Harifuddin Cawidu.
3.
Tafsir Munasabah
yaitu tafsir lughawi yang lebih menekankan pada aspek korelasi antar ayat atau
surah, seperti Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya
Burhanuddin al-Buqa’y (w. 885), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin
al-Razy (w. 606), Tafsir al-Mishbah karya Quraish
Shihab, dll.
4.
Tafsir
al-amtsal
(alegori) yaitu tafsir yang cenderung mengekspos perumpamaan-perumpamaan dan
majaz dalam al-Qur’an seperti kitab al-Amtsal min al-Kitab wa al-Sunnah karya
Abdullah Muhammad bin Ali al-Hakim al-Turmudzi (w. 585 H), Amtsal
al-Qur’an karya al-Mawardi (w. 450 H), Majaz al-Qur’an karya Izzuddin Abd
Salam (w. 660 H)
5.
Tafsir
qir’ah yaitu tafsir yang membahas macam-macam qira’ah seperti kitab Tahbir
al-Taisir fi Qir’aat al-Aimmah al-‘Asyrah karya Muhammad bin
Muhammad al-Jazry (w. 843 H).
6.
Tafsir
klasifikasi bahasa yaitu tafsir yang mengkaji lafal-lafal yang murni bahasa
arab dan yang tidak seperti kitab al-Muhadzzab fi Waqa’a fi al-Qur’an min al-Mu’arrab
karya Jalaluddin al-Suyuthi.
7.
Dan
tafsir-tafsir lughawi yang lain semisal tafsir Fawatih al-Hijaiyyah dll.
2.
CORAK ‘ILMI
Tafsri ‘Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al qur’an
berdasarkan pendekatan Ilmiyah atau menggali kandungan al qur’an berdasarkan
teori-teori ilmu pengetahuan. Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah
karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan
yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk,
bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti
juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan,
“Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan
ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum
yang berfikir.”.
Karya yang bisa
digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabīr karya Imam Fakh
al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi
Jauhari. Sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’
‘ulūm al-dīn, dan Jawāhir al-Quran karya Imam
al-Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai
karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini. Ada beberapa ulama yang menolak
adanya penafsiran al-Qur’an secara ilmiah, terutama penafsiran model al-Fakhr
al-Raziy dan Thanthawi Jawhari karena dianggap terlalu berlebihan dalam
penafsiran ilmiah dan terkesan memaksakan diri membuat kaitan antara ayat-ayat
al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
Beberapa contoh penafsiran ilmiah diantaranya,
penafsiran QS. Sl-Mursalaat ayat 30 oleh al-Marasi.
(#þqà)Î=sÜR$# 4n<Î) 9e@Ïß Ï Ï]»n=rO 5=yèä© ÇÌÉÈ
Artinya, “Pergilah kamu untuk mendapatkan
naungan yang memiliki tiga buah cabang.”
3.
CORAK TASIR FIQH
Ø Pengertian Corak Tafsir Fiqhi
Corak Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada
pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas
perdebatan atau perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab.
Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang
lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an (ayat-ayat ahkam).
Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih
berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an. Orang yang pertama berhak
menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para shahabat.
Setelah ini periode mufassir tabi’in, kemudian periode
mufassir tabi’it tabi’in dan orang-orang yang setelahnya, yang pada periode
mereka ini dinamakan periode tadwin (pengodifikasian). Seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dengan cabang-cabangnya tafsirpun terus
berkembang sampai periode mutakhirin..
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām
al-Quran karya al-Jassās (w. 370 H); Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi
(w. 543 H); dan Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya
al-Qurtubī (w. 671 H).
Ø Sistematika Tafsir Fiqhi
Dalam sistematika penulisan kitab tafsir dikenal adanya 3 sistematika:
a.
Mushafi yaitu
penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada susunan ayat-ayat dan
surat-surat dalam mushaf dengan memulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah dan
seterusnya sampai surat al-Nas.
b.
Nuzuli yaitu dalam menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kronologis turunnya
surat-surat Al-Qur’an.
c.
Maudhu’i
yaitu menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada
hubungannya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Al Qurtuby sebagai representasi dari tafsir fiqhi dalam
menulis kitab tafsirnya memulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat al-Nas. Dengan
demikian ia memakai sistematika Mushafi, yaitu dalam menafsirkan
Al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.
Ø Contoh tafsir fiqhi
واقيموالصّلاة وأتواالزّكاة واركعوامع الرّاكعين…
(Surat Al Baqarah 43)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al Qurtubi membagi
pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Di antara pembahasan yang menarik
adalah masalah ke 16. Dia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak
kecil yang menjadi imam shalat. Di antara tokoh yang mengatakan tidak boleh
adalah al Thawri, Malik dan Ashab Al Ra’yi. Dalam masalah ini
al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, menurutnya anak kecil
boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik.
4.
CORAK FALSAFI
Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan
ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti
tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai
justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. Seperti
tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut
Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat
nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan
mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek
filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan
berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih
valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
5.
CORAK SHUFI
Ø Pengertian Tafsir Sufi
Tafsîr
al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini
terbagi dalam dua bagian; tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi nadzary adalah
tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti
renungan filsafat dan ini tertolak. Tafsir sufi
isyary adalah tafsir yang didasarkan atas
pengalaman pribadi (kasyaf) si
penulis seperti tafsîr al-Qur`an
al-`Adzîm karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya al-Sulami dan `Arâis al-Bayân fî Haqâiq al-Qur`an
karya al-Syairazi. Tafsir sufi isyari ini bisa diterima (diakui) dengan
beberapa syarat, (1) ada dalil syar`i yang menguatkan, (2) tidak bertentangan
dengan syari’at/rasio, (3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak
memenuhi syarat ini, maka ditolak. Corak penafsiran Sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat
al-Qur’an secara potensial mengandung 4 tingkatan makna: Zhahir, Batin, Hadd, dan matla’.
Ø Karakteristik Tafsir Sufi
a. Tafsir Sufi Nazari
Tafsir
Sufi al-Nazari adalah tafsir sufi
yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik
yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa
al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia,
tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka.
Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nazari dalam praktiknya adalah
pensyarahan al-Qur’an yang tidak memperhatikan segi bahasa serta apa yang
dimaksudkan oleh syara’.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir
al-Nazari yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir
sufi nazari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an.
Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat
al-Makiyat dan al-Fushush.
Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya.
Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia
dengan Tuhan. Contoh Dalil al-Qur’an tentang paham ini adalah Al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 186: “Jika hamba-hambaku
bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang
memanggil jika dia panggil Aku”. Kata do’a yang terdapat dalam ayat
tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu
bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil
dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka
berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
b.
Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi Isyari adalah pentakwilan
ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk
khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut
dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan
tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna
zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna
isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Contoh penafsiran isyari yang dapat
diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran
al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah:
فلا تجعلوا لله اندادا
Al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek.
Jadi maksud andadan disini bukan
hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan
Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena
manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu
amarahnya.
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat
isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi,
diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu: Ketika para sahabat mendengar ayat
pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya:
اذا جاء نصر الله والفتح
Di antara mereka ada yang mencoba memberikan
penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan
kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi
berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai
tanda ajal Rasulullah saw.
6.
CORAK ADABI DAN IJTIMA’I
Ø Pengertian Adabi Ijtima’i
Tafsir adabi Ijtima’i sebagaimana disebutkan oleh al
Farmawi adalah Corak tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al Qur’an
pada Aspek ketelitian redaksinya lalu menyusun kandungannya dalam redaksi yang
indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk al Qur’an bagi kehidupan, serta
menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia.
Ø Tokoh-tokoh Adabi Ijtima’i
Tokoh utama corak adabi ijtima’i ini adalah
Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid
Ridha, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman, Muhammad Arkoun. Selanjutnya
yang masih menjadi bagian dari para mufassir dengan corak ini akan disebutkan
berikut ini bersama karya-karya tafsirnya.
1. Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w.
1345 H).
2. Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad
Al-Maraghi (w. 1945 M).
3. Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut .
4. Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud
Baht Al-Hijazi.
Ø Literatur Tafsir Al-Qur'an Di Indonesia
1. Tafsir bi al-Ma’tsur Pesan Moral Al-Qur'an, Karya Jalaluddin Rahmat.
2. Tafsir Juz ‘Amma disertai Asbab
al-Nuzul, Karya Rafi’uddin dan Edham Syifa’i.
3. Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish
Shihab.
4. Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis Terhadap
Konsepsi Al-Qur'an, karya Mahasin.
5. Konsep Kufr Dalam Al-Qur'an, karya Harifudin Cawidu.
6. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur'an, Karya Jalaludin Rahman.
7. Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur'an, Karya Musa Asy’ari.
8.
Jiwa Dalam Al-Qur'an, karya Achmad Mubarok dll.
7.
CORAK
BALAGHI DAN BAYANI
Corak Balaghi,
yaitu jika seorang Mufassir menafsirkan Al Qur’an didasarkan pada segi
Balaghohnya (Keindahan Perkataan dan Uslub Al Qur’an). Adapun contoh corak
tafsir Balaghi tedapat pada tafsir Al Kasysyaf karya Al Zamakhsyari.
Sedangkan, Corak Bayani, yaitu tafsir pembahasannya
berkisar pada Balaghotu al Qur’an dalam bentuk Ilmu bayan seperti Tasybih
Isti’aroh, Tamsil, Washal, Fashal, dan cabang-cabangnya seperti penggunaan
Makna Denotasi (Haqiqi) dan Majazi (Metafor) dan semacamnya.
Tafsir Balaghah meliputi tiga aspek yaitu:
§
Tafsir Ma’an
al-Qur’an yaitu tafsir yang khusus mengkaji makna-makna kosa kata
al-Qur’an atau terkdang disebut ensiklopedi praktis seperti kitab Ma’an
al-Qur’an karya Abd Rahim Fu’dah.
§
Tafsir Bayan
al-Qur’an yaitu tafsir yang mengedapankan penjelasan lafal dari
akar kata kemudian dikaitkan antara satu makna dengan makna yang
lain seperti kitab Tafsir al-Bayani al-Qur’an karya
Aisyah Abd Rahman bint al-Syathi’.
§
Tafsir badi’
al-Qur’an yaitu tafsir yang cenderung mengkaji al-Qur’an dari aspek
keindahan susunan dan gaya bahasanya, seperti Badi’ al-Qur’an karya Ibn Abi
al-Ishba’ al-Mishry (w. 654 H)
8.
CORAK HARAKI
Corak Haraki, yaitu tafsir
yang ditulis dan disusun oleh seorang tokoh pergerakan umat Islam. Dalam hal
ini seorang mufassir berusaha menjelaskan Maksud Allah dalam al Qur’an,
khususnya yang terkait dengan perubahan dan pergerakan sosial kearah yang lebih
baik. Tafsir Haraki ini tidak hanya bertujuan menafsirkan al Qur’an, tetapi
juga mengajak umat untuk memperbaiki keadaan sosial yang buruk ke arah keadaan
sosial yang lebih baik.dalam hal ini, mufassir juga mengedapankan perhatiannya
untuk mengajak masyarakat agar kembali kepada ajaran agama yang benar,
mensucikan agama dari segala bentuk Khurafat dan Isroilliyat. Contoh tafsir
Haraki adalah Tafsir Fi Zhilalil al Qur’an karya Sayyid Quthub.
BAB III
PENUTUP
Corak diartikan oleh para mufassir sebagai kecenderungan atau
spesifik seorang mufassir. Hal ini dilatar belakangi oleh pendidikan,
lingkungan dan akidahnya (keyakinannya). Diantara macam-macam corak tafsir
yaitu; corak Lughawi, corak ‘Ilmi, corak Fiqhi, corak Falsafi, corak Shufi,
corak Adabi Ijtima’i, corak Balaghi dan Bayani, serta corak Haraki.
DAFTAR PUSTAKA
Al Aridl, Ali Hasan. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Anshori. 2010. Tafsir bi
Al-Ra’yi: Memahami Al-Qur’an Bedasarkan Ijtihad. Jakarta: Gaung Persada
Press.
Ash shiddieqy, M.Hasbi, 1990. SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU
AL-QUR’AN/TAFSIR. Jakarta: Bulan Bintang.
M. Husein al-Dzahabi, Kitâb
al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, Jilid I, hlm. 419
Supiana dan M. Karman. 2002. ULUMUL QURAN. Bandung: Pustaka
Islamika.